Penulis Disertifikasi, Buat apa?
- Posted on May 7, 2024
- News
- By Portal Detik
- 34 Views
Pertanyaan seperti judul tulisan ini mungkin menjadi sebuah dilema atau mungkin juga memang sebuah pertanyaan yang penuh dengan rasa ingin tahu tentang pentingnya sertifikasi profesi yang telah ada sejak zaman dahulu kala ini. Saya akan memberikan jawaban saya sebagai salah satu yang berperan dalam munculnya sertifikasi di bidang penulisan dan penerbitan ini.
Saya masih ingat dengan jelas pada bulan Februari 2017, Bekraf mengadakan acara diskusi tentang sertifikasi profesi. Saya hadir sebagai perwakilan dari Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia). Pada saat itu, hasil penelitian dari perguruan tinggi yang bekerja sama dengan Bekraf disampaikan. Dalam paparan dari tim Universitas Negeri Semarang, terungkap bahwa industri penerbitan adalah salah satu dari dua industri kreatif yang selama ini tidak memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), apalagi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Fakta tersebut cukup mengganggu saya sebagai "orang buku". Industri penerbitan buku termasuk dalam target Bekraf untuk dikembangkan di Indonesia. Bahkan, hal ini terbukti dengan dukungan Bekraf terhadap penyelenggaraan pameran buku di luar negeri seperti London Book Fair baru-baru ini, ketika Indonesia menjadi Fokus Pasar 2019.
Cerita lainnya terjadi pada bulan Desember 2018, saya diundang oleh Komite Buku Nasional (KBN) untuk berbicara di hadapan para penulis yang terlibat dalam program residensi. Selain saya, Bang Nasir Tamara sebagai Ketua Satupena (Persatuan Penulis Indonesia) juga diundang sebagai narasumber.
Satupena adalah asosiasi profesi penulis yang didirikan oleh Bekraf karena sebelum Penpro (Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia) yang saya pimpin berdiri, tidak ada lagi asosiasi profesi penulis yang aktif di Indonesia. Penpro sendiri dideklarasikan pada tanggal 22 Desember 2016 sebelum Satupena dideklarasikan pada tahun berikutnya.
Di dalam acara KBN itu, saya menjelaskan dengan singkat tentang Penpro dan semangat profesionalitas yang kami usung dengan menyiapkan standar kompetensi kerja untuk sertifikasi penulis. Bang Nasir saat itu menyatakan dengan lantang bahwa Satupena menolak sertifikasi. Saya menghormati sikap Bang Nasir, namun di hati saya ada sedikit kekacauan ketika asosiasi yang dilahirkan oleh Bekraf—yang notabene sangat mendorong sertifikasi profesi—justru menolaknya.
Apakah di negara lain ada sertifikasi penulis? Ya, silakan diramban saja melalui mesin pencari di internet, Anda akan menemukan banyak tautan tentang program sertifikasi penulis. Di luar itu, pertanyaan penting bagi para penulis adalah apakah Anda yakin penulis itu sebuah profesi?
Profesi akan melahirkan profesional. Sebuah profesi dapat ditandai dengan adanya sistem dan standar kerja, adanya keterampilan khusus untuk menjalankannya, dan adanya tarif. Karena itu, sertifikasi berhubungan dengan pengakuan terhadap kompetensi seseorang untuk menjalankan sistem dan standar kerja di bidangnya, melakukan keterampilan yang spesifik, dan mendapatkan bayaran sesuai dengan level pekerjaannya.
Karena itu, perlu tidaknya sertifikasi penulis menurut saya bergantung pada cara pandang seseorang terhadap menulis itu sendiri. Apakah menulis hanya sekadar hobi atau kesenangan yang cukup mendapatkan penghargaan berupa pengakuan dan pujian? Apakah menulis hanya pekerjaan sampingan yang dilakukan pada waktu-waktu senggang? Apakah menulis dianggap sebagai pekerjaan atau bisnis yang menjadi gantungan hidup seseorang?
Jika anggapan terakhir yang diamini bahwa menulis adalah pekerjaan dan bisnis yang dapat dijadikan gantungan hidup, tentu ia harus menghasilkan manfaat optimal bagi para pelakunya. Di sinilah akan terjadi perbedaan antara penulis bersertifikat dan penulis tidak bersertifikat.
Kelihatannya penerbit sebagai tulang punggung industri perbukuan akan lebih memilih SDM penulis yang bersertifikat daripada yang tidak. Begitu juga lembaga-lembaga pemerintah atau swasta yang menyelenggarakan kegiatan penulisan-penerbitan, akan lebih senang menerima penulis yang bersertifikat.
Pengakuan dan Penghargaan
Sertifikasi profesi merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap profesi seseorang. Sertifikasi tidak hanya sekadar ujian untuk menentukan kelulusan, namun hanya ada dua pilihan: Kompeten (K) dan Belum Kompeten (BK). Mereka yang dianggap kompeten akan diberikan lisensi dan sertifikat profesi oleh negara.
Di Indonesia, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) memiliki wewenang untuk menerbitkan sertifikasi dengan logo Garuda. Standar kompetensi kerja yang digunakan oleh BNSP dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Pada tahun 2017, terdapat 624 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di sembilan sektor berbeda.
Salah satu contoh adalah SKKNI Bidang Penerbitan Buku, seperti SKKNI 2018-124 yang dikeluarkan pada tahun 2018. Sebelumnya, terdapat SKKNI 2017-094 untuk Jabatan Kerja Penulisan Sejarah. LSP Penulis dan Editor Profesional adalah lembaga yang dapat melakukan sertifikasi profesi di bidang penulisan-penerbitan, yang didirikan oleh Penpro. Sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak penulis, Penpro mendukung program pemerintah untuk meningkatkan kompetensi penulis dan editor dalam menciptakan karya berkualitas.
Bagi seorang penulis lepas, terutama ibu rumah tangga yang menulis untuk menambah penghasilan dan mengisi waktu luang, apakah sertifikasi penting? Saya tidak ingin mengatakan bahwa penulis lepas atau ibu rumah tangga yang menulis tidak profesional atau tidak perlu menjadi profesional.
Mereka bisa saja mengikuti penilaian buku yang diadakan oleh pemerintah atau proyek-proyek buku dengan nilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Mereka juga bisa menjadi writerpreneur dengan tarif standar dalam pekerjaan menulis, meskipun dilakukan dari rumah sambil mengasuh anak-anak. Tentu saja, ada perbedaan antara yang bersertifikat dan yang tidak bersertifikat di antara mereka.
Namun, jika seorang penulis menolak untuk mengikuti sertifikasi, tidak masalah. Tidak akan ada sanksi atau dosa terkait hal itu. Hanya dalam beberapa kegiatan khusus seperti penilaian buku yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, atau Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, sertifikasi akan diterapkan. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Sistem Perbukuan yang saat ini sedang disiapkan.
Ketika Ada Yang Mencibir
Pada suatu kesempatan dalam rapat pengumuman hasil Penilaian Buku Nonteks Pelajaran 2018 di awal tahun 2019, Mas Zaim Uchrowi—seorang penulis senior dan mantan Direktur Balai Pustaka yang menjabat sebagai sekretaris panitia—dengan tegas menyatakan bahwa Panitia PBNP (Penilaian Buku Nonteks Pelajaran) akan mewajibkan sertifikat penulis dan editor bagi penerbit yang mengajukan bukunya dalam penilaian-penilaian berikutnya.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Pak Totok Suprayitno, Kabalitbang Kemendikbud, yang mengusulkan sertifikasi penulis sebagai respons terhadap banyaknya kasus buku pendidikan yang tidak layak.
Saya mengetahui bahwa beberapa orang mengkritik tentang sertifikasi penulis ini—seperti halnya ketika para musisi bereaksi terhadap sertifikasi musisi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Meskipun demikian, sertifikasi penyanyi dan musisi telah berjalan sejak tahun 2018 yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Musik Indonesia (LSPMI) dengan dukungan dari Bekraf. LSPMI didirikan oleh Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Musisi Republik Indonesia (PAPPRI).
Kritik utama pasti terkait dengan anggapan bahwa sertifikasi adalah bisnis "tersembunyi". Sebenarnya, bukan bisnis tersembunyi, melainkan sangat terbuka. Oleh karena itu, LSP harus memiliki badan hukum, apakah itu PT, Yayasan, atau Koperasi. Bagaimana bisa bukan bisnis ketika seorang peserta sertifikasi harus membayar biaya sertifikasi?
Ya, sebenarnya sama dengan bisnis pelatihan yang juga memberikan sertifikat. Bisnis uji kemampuan bahasa Inggris seperti TOEFL atau IELTS—tidak ada yang gratis. Begitu juga Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan juga memerlukan pembayaran. Mengapa harus membayar? Tentu karena melibatkan penguji (asesor), materi uji, dan fasilitas tempat serta perlengkapan yang semuanya memerlukan biaya.
Namun, dalam konteks sertifikasi profesi BNSP, terdapat dana hibah yang diberikan oleh pemerintah, baik melalui BNSP maupun Lembaga/Kementerian terkait seperti yang dilakukan oleh Bekraf sehingga peserta uji kompetensi/sertifikasi tidak perlu membayar atau membayar dengan biaya yang ringan karena disubsidi. Negara tidak tinggal diam dalam hal ini dan memberikan izin kepada LSP untuk menyerap dana sebesar-besarnya melalui kewajiban sertifikasi.
Semoga tulisan ini dapat memberikan jawaban yang memenuhi kegelisahan mengenai sertifikasi ini. Tulisan ini harus dipertimbangkan dengan pikiran dan perasaan terkait profesi, bukan hanya sebagai ekspresi seni semata.
Penulis: Bambang Trim
Penyunting: Bambang Trim
Write a Response